Mengenal Jenis Pujian: Hati-hati, Jangan Terlena pada Pujian

- 15 Agustus 2023, 12:28 WIB
Pujian terkadang justru membahayakan
Pujian terkadang justru membahayakan /hasca/pixabay

INFO SEMARANG RAYA - Memang dipuji itu enak, bikin bangga, dan bisa menempatkan kita di atasnya awan. Waduh di atasnya awan, jauh banget berarti. Pujian biasa diberikan oleh seseorang yang kagum dengan prestasi kita. Dia kaget karena bisa meraih prestasi tertentu, juara lomba olahraga tingkat provinsi. Kagetnya orang yang memberi pujian tadi pasti ada sebabnya, misalnya karena dia tahu kalau kita suka dipuji, terbiasa diberi pujian, atau memang butuh pujian.

Sebetulnya, dipuji itu nggak enak. Beneran nggak enak. Dipuji sekarang tapi kemudian 3 bulan lagi kalah di ajang lomba olahraga tingkat kecamatan, orang tadi pasti nggak akan memuji lagi. Kalau pun komentar, biasanya begini: sudah nggak apa-apa. Coba lagi tahun depan ya, lagian ini kan tingkat kecamatan. Padahal kamu kan bisa juara di tingkat provinsi.

Kalimat ini biasanya untuk menenangkan seseorang yang kalah bertanding. Tapi untuk sajian kali ini, saya khususkan di pujian atau sanjungan. Orang yang biasa memberi pujian, biasanya memang itulah kebiasaannya. Dia berusaha hadir sebagai sosok yang menenangkan hati, yang sering jadi tempat curhat, yang biasanya bisa nengahi persoalan. Yang saya maksud nengahi persoalan di sini bukan kok dia malah terlibat dalam persoalan yang muncul, nggak begitu. Tapi berusaha menyelesaikan konflik yang terjadi di sekitarnya.

Kembali pada masalah pujian. Kita tahu bahwa di sekitar kita ada banyak jenis orang dengan karakter unik. Salah satunya adalah orang yang suka memberi pujian berlebihan. Yang jenis ini sangat patut untuk diwaspadai. Kebiasaannya mengumbar pujian, bisa saja karena ia sedang bersembunyi dari kenyataan yang sebenarnya. Ia sedang melakukan tindakan munafik dan mencari muka. Ia memberikan pujian berlebihan agar mendapat simpati dan pengakuan bahwa ia adalah orang baik, yang suka menyanjung, dan memberi perhatian.

Harus tetap berpikir kritis ketika mendengar pujian terhadap kita
Harus tetap berpikir kritis ketika mendengar pujian terhadap kita pixabay

Padahal kenyataannya belum tentu demikian. Mungkin saja ia menyanjung hanya untuk melapisi dirinya dari konsep diri yang sebenarnya. Artinya, ia sebenarnya punya potensi lebih besar daripada yang disanjung, sehingga ia butuh tameng atau pelindung agar kelebihannya tidak muncul secara nyata oleh orang lain.

Kemungkinan lainnya adalah pujian yang ia berikan secara berlebihan adalah sebuah kebiasaan, yaitu hal-hal tertentu yang dilakukan secara berulang agar ia tampak terlibat dan memberikan kontribusi dalam sebuah konteks komunikasi. Bisa saja kebiasaan ini dianggap sebagai sesuatu yang baik, namun jika berlebihan, tentu akan menyebabkan kebosanan karena dilakukan secara berulang. Apalagi pengulangannya menggunakan kata-kata yang sama. Misalnya, “wah, kamu memang hebat. Pantas saja kamu anaknya orang terpandang di sini”. Atau bisa juga dengan pujian, “kalau makanan yang bikin mbak Sari sih saya percaya kualitasnya. Dijamin joooss...”.

Pujian terakhir yang disampaikan tadi, biasanya dilakukan oleh seseorang yang nggak pernah membawa makanan ke kantor, bisanya cuma nebeng makan. Bukan pelit, tapi sikap hematnya berlebihan. Tapi dia lebih suka obral pujian, agar kebiasaannya tertutupi, yaitu yang tak pernah bergantian membawa makanan tadi. Makanya, kadang ada orang lain yang mendengar pujian dia, kemudian menimpali begini, “kapan dong gantian kamu yang bawa kue ke kantor”. Jawaban mentok yang dia berikan mungkin begini, “wah kalau saya bangunnya siang, istri saya nggak bisa masak, atau lha ini sudah ada kue yang enak nanti kalau saya bawa juga tapi nggak enak gimana dong”.

Kawan, padahal menurut agama, memberikan pujian itu sebaiknya dilakukan ketika orang yang dipuji tidak ada di depannya. Pujian yang baik adalah pujian yang disampaikan tanpa ada orangnya, sehingga bisa kelihatan tulus bukan karena kebetulan ada orangnya, terus dipuji habis-habisan. Tapi gilirannya orangnya nggak ada, memaki dan menggunjingnya habis-habisan juga. Inilah yang juga disebut sebagai sikap munafik. Sikap yang ditunjukkan tapi tidak dalam kondisi yang sebenarnya.

Halaman:

Editor: Hascaryo Pramudibyanto

Sumber: hasca


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah