Tiongkok Tingkatkan Angka Kelahiran, Warga Trauma dan Kecam Pemerintah

2 Juni 2021, 19:16 WIB
Ilustrasi kelahiran bayi di Tiongkok //Pixabay/

INFOSEMARANGRAYA.COM,- Masyarakat dunia tengah dihebohkan dengan kebijakan dari pemerintah Tiongkok yang mengizinkan para orang tua memiliki tiga anak. Hal ini lantaran angka kelahiran anak mengalami penurunan.

Bahkan bagi sejumlah negara kebijakan ini dinilai sangat terlambat. Pasalnya negara Tiongkok sebelumnya membatasi setiap keluarga memiliki paling banyak dua anak.

Kebijakan tiga anak ini diambil usai mendapat laporan terbaru sensus penduduk yang menunjukan penurunan angka kelahiran dalam beberapa dekade terakhir.

Berdasarkan sensus terkini diketahui hanya sekitar 12 juta bayi yang lahir di tahun 2020. Ini menunjukan penurunan yang signifikan mengingat pada 2016 lalu angka kelahiran sebanyak 18 juta bayi.

Baca Juga: Ganda Putri PB Djarum: Serena Kani/Ni Ketut Mahadewi Istarani Raih Juara di Austrian Open 2021

Baca Juga: Lonjakan Covid-19 di Kudus, Ganjar Cek Pasien dan Temukan Pelanggaran Berat di Ruang Isolasi

Tak hanya itu, angka kelahiran tahun lalu sekaligus menjadi yang terendah sejak 1960-an.

Menurut media pemerintahan Tiongkok, Xinhua melaporkan adanya kebijakan ini telah disetujui Presiden Di Jinping saat dilakukan pertemuan politk biro.

Akan tetapi, sebagian warga terutama kaum milenial menilai adanya tidak sesuainya kebijakan tiga anak itu dengan rencana penundaan usia pensiun yang juga diumumkan pada hari Senin lalu.

Disisi lain, banyak pula warga yang menuntut kompensasi atas trauma yang diderita keluarga mereka karena menginginkan lebih banyak anak di masa lalu.

Baca Juga: Cube Entertainment Debutkan Girl Group Baru LIGHTSUM Dengan Single ‘Vanilla’, Ini Dia Anggotanya

Baca Juga: Duta Besar Dicopot Karena Kelakuan Istrinya yang Tidak Senonoh

Dibawah kebijakan ketat satu anak di Tiongkok yang diperkenalkan pada 1979, keluarga yang ketahuan melanggar aturan menghadapi denda, kehilangan pekerjaan, dan terkadang harus melakukan aborsi paksa.

Para pegiat mengatakan hal itu juga menyebabkan masalah seperti pembunuhan bayi perempuan dan kurangnya pelaporan kelahiran perempuan.

Salah satu pengguna microblogging Weibo mengklaim bahwa ibunya dipaksa menggunakan kontrasepsi IUD sesaat setelah melahirkan dirinya karena dia adalah anak kedua. Ironisnya, IUD itu menimbulkan infeksi
yang harus diderita hingga saat ini.

"Kebijakan ini hanya pemberitahuan dingin-tidak melihat jenis kesusahan
yang ditimbulkannya kepada orang orang. Setiap orang telah direduksi menjadi data, bukan orang-orang yang pantas dihormati dan dilihat,” tulisnya di Weibo.

Baca Juga: Fakta Menarik Lea Ciarachel, Pemeran Zahra Dalam Sinetron SHI Indosiar yang Masih Berusia 15 Tahun

Baca Juga: Sinetron Suara Hati Istri-Zahra Dikecam, KPI: Indosiar Akan Ganti Artis 15 Tahun

Tak sedikit warga yang mengungkap kembali kisah Feng Jiamei yang dipaksa melakukan aborsi pada bulan ketujuh kehamilannya karena dia tidak dapat membayar denda untuk memiliki
anak kedua. Pejabat kota meminta maaf setelah foto yang menunjukkan Feng dan janinnya mengejutkan pengguna internet.

Sementara itu, pengguna Weibo dengan nama akun Jia Shuai mengaku sebagai anak yang dianggap ilegal yang tumbuh di kawasan pedesaan, dia terpaksa harus melompat ke kolam demi bersembunyi dari petugas keluarga
berencana.

"Jika Anda tidak dapat membayar denda, beberapa pejabat akan mengosongkan rumah Anda dan membawa pergi binatang peliharaan Anda. Kenangan yang aneh,” tulisnya.

Pengguna lain mengklaim adik perempuannya masih hidup hingga kini karena jasa seorang dokter. Dokter penuh kasih itulah yang membiarkan ibunya melarikan diri dari rumah sakit, setelah dia diharuskan melakukan aborsi saat hamil delapan bulan.

Baca Juga: Tips Caramel Bread Popcorn Ala Jaemin NCT, Temani Kamu Menonton Film

Organisasi hak asasi manusia, Amnesty International, mengatakan kebijakan itu, masih merupakan pelanggaran hak seksual dan reproduksi.

"Pemerintah tidak memiliki urusan untuk mengatur berapa banyak anak yang dimiliki orang. Dari pada'mengoptimalkan' kebijakan kelahirannya, Tiongkok seharusnya menghormati pilihan hidup masyarakat dan mengakhiri kontrol invasif dan hukuman atas
keputusan keluarga berencana,”kata kepala tim Amnesty International Tiongkok, Joshua Rosenzweig***

Editor: Eko Nugroho

Tags

Terkini

Terpopuler