Membersihkan Rumah dari ‘Sampah’ Tetangga

Lisan si ibu pun berucap, “kamu nggak boleh lagi main sama Nano! Nano itu nakal, suka ngerusak barang-barang kita! Lihat tuh meja rias mama, lecet semua gara-gara Nano!”. Suara si ibu menggelegar tak terkendali. Saya berusaha membuang muka agar tak tampak kalau sedang memperhatikan. Tapi telinga saya berdenging kencang, ingin sekali membela si anak.

Anak butuh teman, ia butuh interaksi pixabay

Pikir saya, seberapa rusak sih meja riasnya? Seberapa parah kenakalan Nano? Apakah Nano yang dianggap nakal tak punya sedikit pun kebaikan? Dan ribuan pertanyaan lagi. Makin sesak dada saya tatkala si ibu juga menghardik anaknya dengan ucapan ini. “Bapak ibu Nano itu orang pintar, berpendidikan, kaya raya. Di sini aja sepeda motornya dua! Kamu nggak usah main sama Nano. Awas kalau Ibu tau kamu sama Nano!”. Mosok si anak diajak ngomong kayak gini, yang bener aja euy....

Wah...wah..berat banget ucapan si ibu ini. Urusan anak, keusilannya, keluguannya, dan semua atraksi anak adalah kebaikan. Semua bernilai kebaikan. Mereka hanya melakukan yang ia bisa (saat ini). Saat ini hanya bisa memukul meja, ya memukul meja. Bisanya menarik kursi hingga berderit mengganggu tetangga, ya begitulah bisanya. Baru sebatas itu ia bisa menunjukkan kemampuannya. Tapi dia suka, dia bangga bisa menarik perhatian orang sekitarnya. Emang si ibu nggak pernah jadi anak kecil ya? Ia tiba-tiba mbrojol dan segedhe ini? Masya Allah...

Sudahi saja sikap tak elegan ini, dan gandeng kembali si Nano – anak tetangga sebagai anakmu. Ia kelak akan jadi sahabat anakmu, yang bisa menolong di saat main bareng, ia kecemplung sungai. Semoga ini tidak terjadi, tapi begitulah bermain. Ada saja yang tak kita duga. Jadi, jangan biarkan dirimu jadi besi sendirian, hingga tetangga menyaksikanmu berkarat tak berguna. ***