Membersihkan Rumah dari ‘Sampah’ Tetangga

- 21 Agustus 2023, 07:51 WIB
Jangan biarkan anak kita jadi korban
Jangan biarkan anak kita jadi korban /hasca/pixabay

INFO SEMARANG RAYA – Hidup itu seni, dan seni itu tidak ada yang menyalahkan. Semua benar, bahkan si pembuat karya seni pun menganggap benar karyanya. Komentar dan penilaian yang masuk – walaupun itu menjelekkan karya seni – akan dianggap angin lalu. Seniman yang punya hati beku akan mengatakan, ‘komentarmu cuma sampah’.

Beueh...segitu jeleknya menganggap komentar orang lain sebagai sampah. Di tempat lain, sampah juga ada gunanya. Itu kalau mikirnya waras. Tapi bukan berarti seniman itu nggak waras ya. Bedakan konteksnya deh ...

Di tulisan ini, saya akan berkisah tentang sosok yang baik di lingkungan sekitar saya. Saya beri penilaian baik sebab ia merupakan figur sukses yang punya semangat mendidik anaknya agar jadi anak pintar, berakhlak, dan prima dalam berbagai hal. Cara mendidiknya pun sudah bisa dilihat dari tuturan kesehariannya ketika ia menemani sang anak bermain.

Tak ada niat saya sedikit pun untuk membedakan kemampuan seseorang dalam mendidik anaknya. Sama sekali nggak ada. Semua lebih karena ‘keusilan’ saya untuk mendalami kedalaman kualitas tutur seseorang dalam berinteraksi dengan siapa pun itu. Tiap detail kosa kata yang terlontar selalu ada nilainya, baik positif maupun negatif. Tak terkecuali si anak, yang jadi peniru terbaik kita.

Merindukan kasih sayang
Merindukan kasih sayang pixabay

Kebanggaan saya tiba-tiba sirna. Lenyap begitu saja tersapu angin kisah yang tak bertuan. Rasa hati ingin menafikan kisah itu namun berat. Ada kecondongan lebih miring ke arah pembelaan. Niat ‘membela’ ini bukan tanpa alasan sebab – apabila benar kisah ini – maka saya sangat menyayangkannya.

Masa kecil tak mengingkari pembentuk karakter kita saat ini

Di sebuah desa pelosok sana – ketika itu saya duduk di depan rumah tiba-tiba muncul seorang anak berlari dari dalam rumah. Ia berlarian sambil menangis, seolah ketakutan. Mata saya pun terkesiap menatap wajah melas si anak. Ingin rasanya saya memeluk dan melindunginya. Tapi dia bukan anak saya, dan apa hak saya melindunginya? Toh si pengejar tadi tak lain adalah ibunya sendiri, yang punya hak lebih untuk ‘mendidik atau menghajarnya’.

Akhirnya saya hanya bisa menatap. Tak tersadar, mata ini mulai basah. Menitikkan air mata. Cengeng? Sama sekali bukan karena cengeng, tapi hati saya sakit ketika menyaksikan si anak mendapat pukulan gagang sapu di pahanya. Sakit lho... perih.. membekas biru. Tapi bekas biru itu bisa lenyap beberapa hari. Yang tak bisa hilang adalah bekas sakit hati si anak menyaksikan ibunya asyik memukuli pahanya. Seakan ibunya puas jika anaknya kesakitan dan menangkis kencang.

Halaman:

Editor: Hascaryo Pramudibyanto

Sumber: hasca


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x