Network
INF O SEMARANG RAYA – Angkringer adalah sebutan buat para pecinta warung angkringan yang marak berdiri sejak 25 tahun belakangan ini. Di lokasi angkringan, akan ada satu topik diskusi seru. Salah satunya ini. Pernyataan Ketum PKB Muhaimin Iskandar atau Cak Imin dalam pembukaan Rakornas Pemilu 2024, di Kantor DPP PKB, Jakarta hari Senin (28/8) menjadikan bulu kuduk berdiri tegak. Ada ungkapan dari sekelompok publik yang merasa kaget, aneh, menyunggingkan bibir, dan aneka perilaku fisik lain. Adalah dia seorang pimpinan partai, yaitu PKB, yang meyakin bahwa siapa pun yang join atau bergabung dengan PKB, dialah sang pemenang pemilu tahun 2024. Pernyataan semacam ini tentu bukan tanpa alasan. Namun alasan yang tahu persis adalah dirinya sendiri, sang ketua umum.
Namun dalam sambutannya, ia menegaskan bahwa secara matematis jumlah hitungan koalisi itu sudah habis, karena partai-partai sudah berkumpul di masing-masing pilihan, jadi sudah hampir pasti terjadi tiga poros koalisi. Ia juga berujar bahwa insya Allah dalam dinamika pilpres itu, PKB dibutuhkan oleh seluruh kekuatan untuk diajak ke mana-mana.
Dari manakah keyakinan ini, bahwa partainya dibutuhkan seluruh kekuatan untuk diajak ke mana-mana? Sungguh patut dikasihani sebab – secara psikologis, seseorang yang dinyatakan sehat, ia justru tidak akan merasa ‘sedang dibutuhkan’. Ia akan menjaga sikap, ucapan, dan perilakunya agar orang lain tetap merasa ‘biasa saja’ meskipun ia adalah penting dalam sebuah tatatan. Yang b\isa menahan diri, tidak murah-murahan mendisplay diri tentu akan menjaga wibawa tutur. Sikap rendah hati patut dijempolkan pada figur semacam ini, yaitu figur yang mampu mengendalikan massa, tidak menunjukkan kelebihan potensi yang tak dapat dihitung analisisnya, bahkan memastikan sesuatu mendahului ketentuanNya.
Berani boleh saja, namun jangan kebablasan. Inilah kita yang tak mau disebut sombong dan arogan. Tulisan ini akan dilawan oleh mereka yang pro, sebab sama-sama punya keyakinan bahwa yang begini ini pasti menang pemilu. Siapa yang menjamin akan menang, dan jika kalah apa bentuk konsekuensinya, sangatlah tidak jelas. Andaikata tidak terbukti, ketika nantinya ditagih, jawabannya pasti akan seputar ini: “kan saya pakai insya Allah, jadi ya segalanya masih mungkin terjadi”.\
Baiklah kawan, Anda boleh berdalih apa saja dan dengan tangkisan seperti bagaimana pun. Boleh kok, dan sah-sah saja. Tapi apa nggak malu, andaikata keyakinan Anda nantinya nol pruthul? Kata orang Jawa, nol pruthul itu artinya sama sekali tidak ada hasilnya. Mau dibilang begitu, serius? Saya yang dengar saja jadi nggak enak hati. Malu kalau pernyataan ini saya sampaikan dalam obrolan antarpeminum kopi di warung angkringan. Mereka para angkringer adalah makhluk heterogen yang tak suka bau politik.
Mereka bebas bicara dan satu sama lain tak saling mendengki: apapun warnanya. Tidak ada sedikit pun yang merasa insecure atau anxiety. Semua biasa saja sebab angkringer adalah sosok tanpa beban. Justru karena tanpa beban inilah, saya merasa bebas berpolemik. Beda pendapat adalah sebuah kewajaran, tapi kalau konteksnya keyakinan tanpa dasar, yang ada malah saya yang ditertawakan. Itu pasti dan wajib ditertawakan. Saya yang nanti malam mau cerita saja sore ini sudah nyicil tertawa.
Takut ditertawakan, sama sekali tidak. Saya malah ingin sekali mendengarkan komentar lanjutan angkringer yang jujur dan tulus. Mereka pasti bicara dengan hati, tanpa modus, dan lepas tendensi. Memang benar tanpa modus sebab tak ada siapa pun yang dibela, dan lepas tendensi karena memang tak diberi upah oleh siapa pun untuk membela si ini dan itu. Padahal jumlah angkringer sangat gemuk, sehingga mereka pun layak diperhitungkan sebagai lumbung suara. Atau jangan-jangan para angkringer ingin mendirikan partai sendiri? Saya bakalan ditimpuk habis jika melontarkan pernyataan ini. ***
