Tiada terdengar suara panggilan mu ya rosulll, karena telinga kami telah tuli oleh tumpukan kedholiman kami
Tiada terlihat uluran tangan penuh cintamu ya rosul, karena mata kami telah buta oleh dosa dan kemaksiatan kami
Tiada tergerak, hati kami untuk menyambut dan memenuhi seruan mu, karena tangan dan kaki kami terbelenggu oleh imperialis nafsu
Masih pantaskah? Masih pantaskan kami menyebut diri sebagai umat mu,,,,,
Ya sayyidiii ya rosulallahh,,,,,
Mohonkan kami ampunan kepada allah
Syafaatilah kami di yaumul ahir
Hingga Allah memberikan rohmat nya kepada kami
Makan Pusi Rindu Rosululloh
Rindu yang Terpancar dari Puisi
Puisi ini dibuka dengan salam cinta dan rindu yang tulus kepada Rasulullah. Kata-kata ini membawa kita ke dalam atmosfer kehangatan dan kecintaan terhadap Nabi, sebagai sumber inspirasi dan kebijaksanaan.
Gelisah di Dalam Keheningan
Baris berikutnya membawa kita ke dalam ketidakpastian dan kegelisahan di tengah konflik dan ketidaksetujuan sesama manusia. Gelisah ini disampaikan sebagai keluhan kepada sang kekasih Allah, Rasulullah, yang diharapkan dapat memberikan petunjuk dan nasihat.
Hijaunya Pemikiran dan Akhlak Rasul
Puisi ini menyoroti kegelapan hati manusia yang masih jauh dari pemikiran dan akhlak Rasulullah. Meskipun mengaku sebagai pembaca salawat, keberadaan abu jahal (kebodohan) dan abu lahap (keingkaran) masih meracuni batin mereka.